Hallo sobat Rimbawan, kembali lagi di blog saya Yohan Marbun, yang akan membagikan pelajaran tentang PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN KEHUTANAN yang dipelajari di fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada semester 3.
Hutan, sebagai
karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa
Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat
serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan
dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Hutan, sebagai salah satu penentu sistem
penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya,
oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya
dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif,
bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat.
Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan
berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta
masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada
norma hukum nasional. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah
tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan
perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
di atas, perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.
Peraturan Perundangan Terkait:
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
- Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
Fungsi penegakan hukum berkaitan dengan mekanisme untuk memastikan kepatuhan hukum dan peraturan yang berfungsi untuk menjaga dan melindungi kondisi dan kawasan hutan, lahan ekosistem penting serta masyarakat yang bergantung pada sumber daya tersebut.
Penegakan hukum bekerja untuk mempromosikan aturan hukum dan mencegah kegiatan perusakan hutan ilegal, dan membantu untuk mencegah korupsi dan pencucian dan penggelapan dana (money laundry) dalam sektor kehutanan dan sumberdaya alam.
Penegakan hukum juga termasuk untuk memastikan diberlakukannya sanksi hukum bagi para pelanggar, memberdayakan polisi hutan dan penyidik sipil, serta aparat penegak hukum serta pengadilan untuk mendeteksi, mengejar dan menghukum pelanggaran.
Penegakan hukum di Indonesia
Ada lebih dari 2.000 peraturan perundang-undangan, peraturan dan norma-norma tentang hutan dan penggunaan lahan, termasuk hukum dari sektor lain secara tidak langsung berdampak pada pengelolaan sumber daya hutan. Menegakkan hukum adalah tanggung jawab pemerintah daerah dan pusat yang memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang menggunakan hutan dan untuk menangani pelanggaran hukum.
Beberapa lembaga pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menegakkan tata kelola terkait undang-undang kehutanan diantaranya polisi hutan dan penyidik pegawai negeri sipil bersama dengan polisi. Penegakan hukum didasari dari dua pendekatan: deteksi dan penindasan kegiatan hutan ilegal. Tugas dari penyidik adalah mengumpulkan bukti, penyelesaian pemberkasan hingga proses penuntutan di pengadilan.
Tantangan yang dihadapi oleh penegak hukum umumnya berkisar antara lemahnya kapasitas baik karena kurangnya pelatihan dan pengalaman, kurang memahami hukum yang ada dan persoalan kekurangan dana operasional.
Di sisi lain, aparat penegak hukum, termasuk jaksa dan hakim, seringkali tidak terbiasa dengan tindak pidana bidang kehutanan dan sanksi diatur dalam undang-undang tersebut. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk menerapkan sanksi. Meskipun beberapa hakim telah dilatih dalam kualifikasi kasus kehutanan dan kejahatan lingkungan, tetapi hakim tersebut tidak berada di lokasi tempat kasus terjadi.
Inilah yang menyebabkan kasus kejahatan kehutanan umumnya divonis ringan dan hanya menyentuh orang-orang kecil yang terpaksa terlibat dalam kegiatan illegal, sementara aktor yang lebih kuat, seperti orang-orang yang mendanai operator chainsaw, yang membeli dan menjual kayu ilegal, dan siapa lalu lintas barang internasional, yang lebih kecil kemungkinannya untuk dideteksi.