Makalah Penilaian Hutan Medan, Oktober 2019
MANFAAT EKONOMI
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
PUSPA (Schima wallichii)
Dosen Penanggungjawab :
Disusun Oleh :
Yohan Marbun 171201090
MNH 5
PROGRAM STUDI
KEHUTANAN
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah Penilaian Hutan ini. Makalah yang berjudul
“Manfaat Ekonomi Hasil Hutan Bukan Kayu Puspa (Schima wallichii)” ini dibuat untuk memenuhi syarat dalam tugas Penilaian
Hutan bagi mahasiswa Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas
Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada bapak
Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si selaku dosen penanggungjawab dalam mata kuliah Penilaian Hutan. Penulis juga mengucapkan trimakasih kepada pihak-pihak yang telah meberikan arahnnya sehingga makalah ini selesai dengan tepat pada waktunya.
Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si selaku dosen penanggungjawab dalam mata kuliah Penilaian Hutan. Penulis juga mengucapkan trimakasih kepada pihak-pihak yang telah meberikan arahnnya sehingga makalah ini selesai dengan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makala ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Medan, Oktober 2019
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hasil hutan bukan kayu merupakan sumber daya alam yang
masih banyak terdapat di Indonesia dan keberadaanya dimanfaatkan sebagai mata
pencaharian oleh masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu dinyatakan hasil hutan bukan
kayu adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan
dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu
meliputi rotan, bambu, getah, daun, kulit, buah, dan madu serta masih banyak
lagi (Nona, 2017).
lagi (Nona, 2017).
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan pola yang baik
serta pembinaan dari instansi kehutanan dapat mengurangi kegiatan penebangan
liar oleh masyarakat. Hasil hutan berupa buah dan daun dapat dikonsumsi secara
langsung. Masyarakat di sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu
seperti sagu, umbi-umbian, buahbuahan, sayur-sayuran untuk dijadikan bahan
konsumsi sehari-hari. Selain memanfaatkan tanaman konsumsi penggunaan tumbuhan
obat-obatan, rotan, bambu, beserta pengambilan kayu bakar juga dilakukan di
sekitar hutan (Rachman et al., 2007).
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) didefinisikan sebagai
segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan
untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest management, HHBK atau
Non Timber Forest Product (NTFP)
memiliki nilai yang sangat strategis. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan
salah satu sumberdaya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan
langsung dengan masyarakat di sekitar hutan. Kontribusi HHBK (rotan, damar,
arang, getah-getahan, gaharu, dll). Di Indonesia sampai saat ini budidaya
tanaman HHBK belum banyak dilaksanakan, sebagian besar produk HHBK masih
diambil dari dalam hutan sehingga produksi HHBK yang berkesinambungan tidak
lagi terjamin. Akibatnya sumberdaya HHBK menjadi hancur bahkan beberapa jenis
masuk kategori langka, seperti gaharu, damar rasak, jelutung, kapur barus,
jermang, ketiau, balau dan lain-lain (Moko, 2008).
Puspa, seru, atau medang
gatal (Schima wallichii) adalah sejenis
pohon penghasil kayu pertukangan berkualitas sedang. Pohon ini termasuk ke
dalam keluarga teh (Theaceae), dan
menyebar luas mulai dari Nepal,
melalui Asia Tenggara, hingga ke Papua Nugini.
Disebut medang gatal karena pohon ini memiliki lapisan semacam miang di
bawah pepagannya, yang keluar berhamburan ketika digergaji dan menimbulkan rasa
gatal di kulit. Nama spesiesnya diberikan untuk menghormati N. Wallich (1786 –
1854), ahli botani berkebangsaan Denmark yang
telah berjasa mengembangkan Kebun Raya Kalkuta.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa klasifikasi dan deskripsi dari pohon Puspa?
2.
Apa saja kegunaan dari pohon Puspa?
3.
Bagaimana pertumbuhan pohon Puspa di Indonesia ?
4.
Apa saja karakteristik Puspa?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui klasifikasi dan deskripsi dari pohon Puspa.
2.
Untuk mengetahui kegunaan dari pohon Puspa.
3.
Untuk mengetahui pertumbuhan pohon Puspa di Indonesia.
4.
Untuk mengetahui karakteristik Puspa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Klasifikasi dan
deskripsi dari pohon Puspa
Kingdom:
|
|
Divisi:
|
|
Kelas:
|
|
Ordo:
|
|
Famili:
|
|
Genus:
|
|
Spesies:
|
S.
wallichii
|
Pohon yang selalu hijau, berukuran sedang hingga besar,
mencapai tinggi 47 m.
Batang bulat torak,
gemangnya hingga 250 cm namun biasanya jauh kurang dari
itu; batang bebas cabang hingga sekitar 25 m. Pepagan memecah
dangkal sampai sedang, membentuk alur-alur memanjang, coklat kemerahan hingga
abu-abu gelap; sebelah dalam berwarna merah terang, dengan lapisan ‘miang’ yang
mengiritasi kulit.
Daun tersebar dalam
spiral, bertangkai sekitar 3 mm; helai daun lonjong hingga
jorong lebar, 6–13 × 3–5 cm, pangkal bentuk baji dan ujung runcing atau
meruncing, dengan tepian bergerigi. Bunga tunggal di ketiak
di ujung ranting, dengan dua daun pelindung, berbilangan-5; kelopak menetap
hingga menjadi buah; mahkota putih, saling melekat di pangkalnya; benangsari
banyak. Buah
kotak hampir bulat, diameter 2–3 cm, membuka dengan 5 katup; biji dikitari oleh
sayap.
2.2 Kegunaan Pohon Puspa
Beberapa hasil
penelitian menyebutkan bahwa kulit pohon ini mengandung miang (gatal)
didalamnya, dapat dijadikan racun ikan dan manfaat lainnya kulit juga dapat
dijadikan pewarna alami, dan penyamak pada kulit. Daun dan bunga simartolu
mengandung Glycosida
(Saponin) yang dapat digunakan sebagai campuran obat/jamu sebagai anti diare
dan sakit perut, disamping itu, dalam penelitian farmasi juga disebutkan bahwa
daun simartolu ini memiliki aktivitas anti malaria. Dengan bentuk kulit berlekuk, beralur dangkal hingga sedang
memanjang dan berbunga sepanjang tahun, Simartolu juga merupakan jenis
yang sangat digemari sebagai habitat dan penghasil pakan satwa antara lain
beberapa jenis burung seperti jenis pleci (kacamata), srigunting, cabai gunung,
burung madu sepahraja, perenjak gunung yang mencari madu pada bunga dan ulat
atau serangga yang banyak ditemukan pada kulit batang. Pada saat berbunga juga
banyak ditemukan jenis lebah Apis cerana yang
hilir mudik berebut polen bunga dan hal ini merupakan hubungan simbiosis
mutualisme alam yang layak menjadi pelajaran dan hal penting untuk dapat terus
kita amati sebagai informasi data riset.
2.3
Untuk
mengetahui pertumbuhan pohon Puspa
Puspa mampu hidup pada berbagai
kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan,
pohon ini juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang
terganggu, bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup
hingga ketinggian 3.900 m dpl., puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan
kesuburan tanah. Meski lebih menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa
diketahui mampu tumbuh baik di daerah berawa dan tepian
sungai.
Puspa merupakan tumbuhan asli di India, Nepal, Burma, Cina, Vietnam, Laos, Thailand,
Malaysia,
Indonesia,
Brunei, Filipina,
dan Papua
Nugini
2.4
Karakteristik Puspa
Kayu terasnya
berwarna coklat kemerahan atau coklat kelabu; gubalnya
berwarna lebih muda dan tidak mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras.
Teksturnya halus dan permukaan kayunya licin, dengan arah serat lurus atau
berpadu. Kayu ini termasuk agak keras, kayu puspa termasuk ke dalam kelas kuat
II.
Secara
umum, puspa digolongkan ke dalam kelas awet III. Ia cukup tahan terhadap
serangan rayap kayu kering
(kelas II), tetapi kurang tahan terhadap jamur pelapuk kayu (kelas III-IV).
Namun, kayu ini termasuk mudah diawetkan.
Kayu puspa juga mudah dikerjakan.
Dapat dibubut, diserut, dibor, diamplas, dan dipelitur dengan hasil baik. Dapat
dibuat menjadi venir
tanpa perlakuan pendahuluan, tetapi venirnya bergelombang setelah kering.
Pengeringan kayu puspa memang diketahui sulit; lambat mengering dan mudah
mengalami perubahan bentuk seperti pencekungan dan pemilinan serta pecah pada
mata kayu. Kembang susut kayu ini termasuk besar dan mudah retak
KESIMPULAN
1. Hasil hutan
bukan kayu merupakan sumber daya alam yang masih banyak terdapat di Indonesia
dan keberadaanya dimanfaatkan sebagai mata pencaharian oleh masyarakat. Menurut
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan
Kayu.
2. Kulit pohon Puspa mengandung miang (gatal) didalamnya, dapat
dijadikan racun ikan dan manfaat lainnya kulit juga dapat dijadikan pewarna
alami, dan penyamak pada kulit. Daun dan bunga simartolu mengandung Glycosida (Saponin)
yang dapat digunakan sebagai campuran obat/jamu sebagai anti diare dan sakit
perut
3. Daun Puspa memiliki aktivitas anti malaria.
4 Puspa
mampu hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat. Sering ditemukan
tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan.
DAFTAR PUSTAKA
Harisina., A.,
Annis dan Farapati. 2016. Pengaruh substitusi buah sukun (Artocarpus comunis)
dan kacang hijau (Vigna radiata) terhadap daya terima dan kandungan protein
flakes. Universitas Airlangga. Surabaya.
Moko., H. 2008.
Menggalankan hasil hutan bukan kayu sebagai
produk unggulan. Balai besar penelitian bioteknologi dan pemuliaan
tanaman hutan. Vol. 6(2).
Nona., Farah
dan Fahrizal. 2017. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat di desa
Labian Ira’ang dan desa datah diaan di kabupaten Kapuas Hulu. Poonianak. Jurnal Hutan Lestari.Vol. 5(1).
Sanjaya, H.
2019. Mengenal Simartolu pohon sejuta
manfaatn. Balai Litbang LHK Aek Nauli